Rabu, 31 Oktober 2012

Tulisan tentang ekonomi 7


Pemahaman Mendasar Bisnis & Industri Musik
Sebelum ada industri musik awalnya terjadi bisnis musik. Bisnis musik itu elemen mendasarnya antara lain terdiri dari rasa, ekspresi dan batas yang kemudian dirancang sedemikian rupa hingga memiliki nilai ekonomi. Saya pernah punya presentasi tentang musik yang mulai di dengar satu hingga sepuluh orang karena musik memiliki batas loudness dan decibel yang kemudian dibantu teknologi. Teknologi amplify membantu mengeraskan suara, teknologi rekaman mampu merekam suara, teknologi transmiting memancarkan suara. Namun tetap saja sumber ekspresinya satu, artisnya. Kemudian musik di dengar dan diapresiasi orang banyak dan ternyata mendatangkan keuntungan-keuntungan ekonomi bagi penyelenggaranya. Otomatis pembuat musiknya harus mendapat bagian juga. Itulah asal muasalnya hak cipta.
Performing rights muncul ketika artis bernyanyi di depan orang banyak dan orang itu senang dan terhibur tapi ketika di dengar dua ribu orang dan butuh gedung lalu terjadi penjualan tiket. Berarti ada uang masuk dan harus dibagi dengan artis sebagai penyedia content musiknya. Disitulah mulai terjadi pembagian royalti. Sama halnya dengan teknologi radio. Bayangkan kalau sinyal radio hanya kosong saja tanpa ada content musiknya maka radio itu tak akan di dengar orang.
Ketika ada content musik dan orang mulai mendengar kemudian disisipkanlah iklan. Iklan menghasilkan uang akhirnya radio yang menggunakan musik harus membagi keuntungan yang di dapat dari iklan dengan membayar royalti performing rights bagi artis-artis dan para pencipta lagunya. Berikutnya musik juga dapat direkam dan digandakan, terciptalah kemudian mechanical rights. Kalau sudah memahami filosofi tersebut akah mudah mengikuti perkembangan industrinya. Ketika jaman berubah dan musik tidak lagi direkam melalui studio atau diekspresikan di sebuah gedung, muncullah musik di internet atau di ponsel.
Industri selalu berubah terus karena perkembangan jaman sekaligus ada teknologi, norma baru, trend baru, semuanya mempengaruhi. Bahkan hukum pun mengikuti itu. Sebelum disebut industri musik awalnya bisnis musik dulu. Pemisahannya baru makin jelas ketika industri masuk ke dalam kehidupan manusia sehari-hari, termasuk ketika musisi bermain musik. Kemudian dipilah. Mulai dari industri peralatan musik walau pun belum memiliki teknologi yang canggih. Misalnya biola, gitar, itu nggak bisa lepas dari industri karena meningkatnya permintaan untuk memainkan alat-alat musik seperti itu.  Sedangkan yang dinamakan industri musik yang kreatif akhirnya mendapat perlindungan Hak Kekayaan Intelektual [HKI] hingga manajerial artis tidak stabil seperti industri peralatan musik karena goncangannya banyak. Misalnya terjadi perbedaan kiblat, ingin mengikuti standar Eropa atau Amerika. Pada satu waktu Eropa berkiblat ke Amerika namun terkadang Amerika juga berkiblat ke Eropa. Belakangan muncul poros industri musik baru di Asia yaitu Jepang dengan musik-musik Jepang yang separuh industri dan separuh non-industrial.


Muncul lagi industri dari benua baru yaitu Australia yang mirip Eropa tapi prilakunya terpengaruh Amerika membuat industri berubah. Gabungan semuanya membuat industri berubah. Manajemen berubah, pelaku berubah. Sementara yang disebut sebagai industri musik di Indonesia selalu tanggung terus. Ketika dijajah Belanda industrinya belum 100% berbicara tentang sistem dan bisnis tapi hanya ditinggali ilmu bermain musik, selalu membahas teknis-teknis bermusik. Contohnya W.R. Supratman. Dia sebenarnya nggak bisa main musik, dia wartawan. Dia belajar main musik supaya Indonesia atau klubnya memiliki lagu sendiri. Sementara industri saat itu mengharuskan musisinya memiliki nama Belanda, itu ketentuan tidak tertulis. Akan mempercepat karir, itu makanya ada Rudolf di dalam nama W.R. Supratman.
Industri kita baru memulai menata walau belum rapi setelah Bob Geldof marah-marah karena Indonesia membajak dan mengekspor album amal Live Aid atau setelah dimulainya era kaset. Waktu era piringan hitam kita masih persis seperti Belanda. Ada Polygram, Polydor dan Philips. Di sini merek-merek itu juga ada, tapi bukan licensed. Seolah-olah seperti license. Lantas Bung Karno membangun Lokananta itu dulunya dibentuk persis seperti Hilversum di Belanda.
Waktu itu ada hubungannya dengan RRI karena sebelum menjadi kota industri media besar, Hilversum pertama kali adalah stasiun radio, Radio Hilversum. Letaknya bukan di Amsterdam. Dari sana industri musik di Indonesia mulai mengenal yang namanya royalti tapi persis konsep Belanda. Kalau dulu konser di depan orang-orang Belanda musisi kita hanya dibayar dengan pride. Gengsi karena ditonton orang Belanda. Itu terjadi juga di generasi berikutnya, ada musisi gedongan dan musisi pinggiran. Hampir sama di seluruh kota.
Di Surabaya dulu hampir semua musisi terkonsentrasi di RRI. Radio merupakan satu-satunya alat ekspresi yang massal dulu. Yang lain bermain di klub, terjadi pembayaran tapi tidak seperti musisi Belanda yang tampil di klub di Belanda sana. Feodalisme akhirnya membuahkan regenerasi sikap bermusik seperti itu. Sebelum dan nggak lama setelah Indonesia merdeka musik kita menjadi musik propaganda, musik yang melawan, theres no industry di sana.
Industrinya diciptakan untuk kebutuhan berperang.
Setelah membaca tulisan-tulisan Remy Silado yang meneliti hal itu. Muncul kota-kota yang melahirkan artis-artis musik pop kontemporer seperti Jakarta, Bandung, Surabaya. Di Surabaya ada era W.R. Supratman, Bubi Chen, Gombloh, Dewa19 hingga Padi. Scene musik yang terbentuk di sana dianggap mewakili Indonesia Timur. Sementara musisi lain yang memainkan musik Hawaiian dari Ambon nggak mau ke Jakarta tapi tujuan utamanya Surabaya. Sampai generasi Franky Sahilatua dan musisi-musisi jazz juga tinggal di sana.
Kelompok orang Manado yang musikal juga muncul dari Surabaya seperti Jopie Item yang lebih dulu dikenal di sana bukan di Jakarta. Kalau melebar sedikit paling ke Malang yang pengaruh Eropa-nya terasa sekali, mirip seperti Bandung. Sementara itu bertumbuh terus Jakarta mulai terpengaruh Amerika Serikat tahun 1960an-1970an.  Saat itu di Indonesia grup-grup seperti Koes Plus, Bimbo, DLloyd dibayar dengan mobil atau rumah sebagai bonus dari produser sewaktu mereka masuk ke industri rekaman. Di luar negeri nggak ada praktik seperti itu. Kompensasinya selalu terukur. Misalnya album laku sekian dan menguntungkan perusahaan sekian akan diberikan royalti. Terserah artisnya nanti ingin dibelanjakan apa uang royaltinya. Singapura juga seperti itu. Hingga ada beberapa artis kita yang berangkat ke Singapura sempat terkaget-kaget dengan norma bisnis yang berlaku di sana.
Musisi-musisi yang pernah rekaman di Singapura seperti Rollies dan Bimbo akhirnya memiliki mindset yang berbeda. Mereka sempat merasakan hasil dari bermusik yang terukur sementara di Indonesia tidak seperti itu. Akhirnya dulu sangat sulit membuat lagu yang menghasilkan duit di sini. Mindset itu nggak ada, bahkan orangtua malah melarang anak-anaknya menjadi pemusik. Mindset peninggalan kolonial Belanda ini terus diwariskan ke generasi-generasi berikutnya. Sementara perkembangan teknologi informasi cepat sekali, ini menerobos ke bagian-bagian yang sudah berjarak dengan generasi dulu.
Perbedaan luar negeri dengan Indonesia setiap terjadi perubahan format rekaman di sana ada prosesnya, dari piringan hitam ke kaset ada prosesnya. Kepala orang diubah dulu. Prilaku distribusi, cara beli, pola konsumsi, dan sebagainya. Kalau di kita nggak, tiba-tiba saja berubah. Pelaku-pelaku besar bisnis piringan hitam yang tadi jumlahnya nggak banyak sekarang punya anak-anak yang bermain di bisnis kaset yang sebenarnya belum siap untuk mendistribusikan. Kelompok inilah yang belakangan menguasai industri musik kita sampai hari ini.
Industri kita justru salah mengartikan hak cipta karena konsep hak cipta memang berakar dari masyarakat industri. Kalau masyarakat kita masih canggung, ditengah-tengah. Setengah agraris, setengah maritim dan belum berpikir secara industri. Sehingga ukuran-ukuran yang dipakai dalam industrinya nggak bisa matched. Hak cipta adalah turunan dari revolusi industri. Generasi pertama dari hak cipta adalah lagu, sebelum akhirnya lagu dan musik sekarang dikenal sebagai content. Perlindungan terhadap para pencipta lagu sangat besar di Undang Undang Hak Cipta tapi pada praktiknya di Indonesia terbalik, pencipta lagu seperti tidak punya hak. Ini berlawanan sekali dengan UU Hak Cipta tentunya.  Di seluruh dunia tak ada pencipta lagu yang datang ke rumah produsernya kecuali untuk hubungan pribadi, itu berbeda. Ada mediator bernama publisher yang bertugas sebagai manajer lagu. Di Indonesia publisher muncul belakangan setelah industrinya berjalan dan anehnya standar yang dipakai tidak sama dengan luar negeri. Akhirnya setelah punya hanya sekadar ada saja, tidak menjalankan fungsi sebagai publisher. Malah kadang menjadi kepanjangan tangan dari kepentingan produsen musik atau label rekamannya.
Di Indonesia kebanyakan label memiliki publishing. Akhirnya makin kisruh. Seharusnya publisher adalah institusi yang melindungi lagu dan pencipta lagu supaya mereka nggak kering kreatifitas, mendapat pemasukan, dipasarkan dan dilindungi secara hukum. Itu tidak terjadi di sini, tetap saja publisher yang ada pasif, hanya menunggu. Jika lagunya sudah jadi dan orangnya datang baru ditawarkan bergabung ke publisher. Bukan menjemput bola dan membawa ke label rekaman. Itu salah satu contoh perangkat industri kita yang tidak memiliki standar sama dengan dunia luar.
Industri yang makin amburadul seperti ini harus dipahami anak-anak baru yang akan terjun ke industri dengan tujuan bukan membuat mereka takut, jangan dikasih gambaran menakutkan. Pada prinsipnya musik memiliki kekuatan, it has power. Sekali kamu terjun ke industri jadilah musisi yang memahami seluk beluk industrinya, nggak salah kok, nggak haram. Jangan setengah-setengah. Ingin terjun ke industri tapi marah-marah atau sebaliknya. Lebih baik masuk ke industri musik sembari melihat apa yang terjadi di sekelilingnya. Tidak semuanya kacau.
Referensi :
Nama : Adisti Pamula Siwi
Kelas : 3 eb 20
NPM : 20210173

Tidak ada komentar:

Posting Komentar