Minggu, 30 Desember 2012

Tugas SOFTKILL B.indonesia 3 (contoh paragraf generelisasi dan sebab-akibat (kausalitas))


Tugas 3
CONTOH PARAGRAF GENERALISASI, ANALOGI DAN SEBAB-AKIBAT(KAUSALITAS)
Contoh Paragraf Generalisasa
          sebagai salah satu persyaratan untuk menjadi seorang akuntan yaitu orang tersebut harus telah lulus sekolah tinggi dengan mengambil jurusan akuntansi dan sudah mendapatkan sertifikat akuntansi publik. salah satu jenis dari akuntan publik yaitu auditor. auditor bertugas untuk mengauditing,auditing itu adalah untuk memproses pengumpulan dan pengevaluasian bahwa bukti tentang informasi atau transaksi yang dapat di ukur dari suatu entitas ekonomis yang dilakukan oleh seorang yang kompeten dan indepenten untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi tersebut dengan kriteria yang telah ditentukan.

Contoh Paragraf Analogi
         di dalam akuntansi, seorang auditor dan seorang ahli pajak memilik perbedaan, dimana auditor hanya mengumpulkan dan mengevaluasi transaksi-transaksi yang telah terjadi, sedangkan ahli pajak yaitu menghitung tarif pajak berdasarkan dari jenis-jenis pajak yang didapatkan. tetapi keduanya tetap memiliki persamaan yaitu sama-sama masih dalam lingkup akuntansi.

Contoh Paragraf Sebab-Akibat (kausalitas)
          seperti yang kita ketahui bahwa untuk menjadi seorang akuntan maupun ahli pajak kita harus lulus di perguruan tinggi dengan mengabil jurusan ekonomi khususnya akuntasi dan minimal memiliki sertifikat akuntan publik maupun sertifikat perpajakan. telah itu seseorang baru bisa menjadi seorang akuntan maupun ahli pajak.
Nama : Adisti Pamula Siwi
NPM : 20210173
Kelas : 3 EB 20

Tulisan tentang ekonomi 20 "Perubahan metode akuntansi dan koreksi kesalahan"


PERUBAHAN METODE AKUNTANSI DAN KOREKSI KESALAHAN
www.gunadarma.ac.id

          Salah satu tujuan penyusunan laporan keuangan adalah memberikan informasi kepada pihak-pihak yang membutuhkan yang akan digunakan untuk membuat perbandingan,meramalkan dan menilai kemampuan suatu perusahaan.
          Perbandingan-perbandingan ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu horizontal dan vertikal. Perbandingan horizontal  adalah perbandingan laporan keuangan suatu perusahaan dengan perusahaan lain untuk periode yang sama. Sedangkan perbandingan vertikal adalah perbandingan laporan keuangan dari suatu perusahaan dengan laporan yang sama untuk periode-periode sebelumnya.
Untuk menjaga agar prinsip comparability dan konsistensi ini dapat terlaksana perubahan-perubahan yang terjadi dipisahkan menjadi 2, yaitu perubahan metode-metode akuntansi dan perubahan-perubahan yang timbul karena koreksi kesalahan-kesalahan dalam periode-periode yang lalu. Perubahan dalam metode akuntansi dipisahkan menjadi 3 yaitu:
a.       Perubahan dalam prinsip akuntansi
b.      Perubahan dalam taksiran-taksiran akuntansi
c.       Perubahan dalam kesatuan usaha

PERUBAHAN DALAM PRINSIP AKUNTANSI
Yang dimaksud dalam perubahn di sini adalah penggunaan suatu prinsip akuntansi yang lazim yang berbeda dengan prinsip akuntansi yang lazim yang digunakan dalam periode sebelumnya. Perubahan dalam penggunaan prinsip penggunaan prinsip akuntansi ini perlakuannya diatur dalam APB opinion nomor 20 dengan klasifikasi sebagai berikut :
1.       Perubahan prinsip akuntansi yang mempunyai akibat kumulatif
Akibat kumulatif dari perubahan prinsip akuntansi diperlakukan sebagai berikut ini:
a.       Jumlah akibat kumulatif dari perubahan prinsip dilaporkan dalam laporan rugi laba di antara elemen-elemen luar biasa dan lab bersih.
b.      Laporan keuangan periode-periode sebelumnya tidak perlu dikoreksi
c.       Laporan laba elemen luar biasa dan laba bersih periode-periode sebelumnya ditunjukan dalam laporan rugi laba tahun sekarang.
2.       Perubahan prinsip akuntansi yang mempunyai akibat retroaktif
Perubahan prinsip akuntansi tertentu diperlakukan secara retroaktif. Dalam cara ini laporan keuangan periode-periode sebelumnya (yang dilaporkan) disusun kembali sesuai dengan prinsip yang baru.  Perubahan prinsip akuntansi yang memerlukan retroaktif adjustment adalah :
a.       Perubahan metode penentuan harga pokok persediaan dari LIFO ke metode lain
b.      Perubahan dalam metode akuntansi untuk kontrak jangka panjang, dan
c.       Perubahan dari atau ke full cost method yang digunakan dalam industri extractive
3.       Perubahan metode penentuan harga pokok persediaan ke LIFO
Perubahan ke LIFO ini merupakn suatu pengecualian dari 2 perlakuan diatas (kumulatif dan retroaktif). Apabila suatu perusahaan mengganti metode penentuan harga pokoknya ke LIFO, maka persediaan awal dalam periode pergantian metode ini merupakan dasar perhitunagan untuk periode tersebut dan periode-periode berikutnya. Pergantian metode ke LIFO ini tidak memerlukan koreksi baik kumulatif maupun retroaktif.

KOREKSI KESALAHAN
Apabila diketaui kesalahan dalam lapporan keuangan dan rekening-rekening, maka kesalahan-kesalahan itu harus diperbaiki agar catatan akuntansi sesuai dengan keadaan sesungguhnya sehingga data yang dihasilkan dan akan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan tidak menyesatkan.

JENIS-JENIS KESALAHAN
Kesalahan-kesalahan yang terjadi mungkin hanya mempengaruhi neraca saja atau mungkin hanya mempengaruhi laporan rugi laba saja. Selain kesalahan-kesalahan itu ada juga kesalahan-kesalahaan  yang mempengaruhi keduannya, baik neraca maupun laporan rugi lab. Kesalahan-kesalahan jenis terakhir ini yaitu yang mempengaruhi neraca dan laporan rugi lab dapat dipisahkan menjadi 2 yaitu :
1.       Kesalahan-kesalahan yang bila tidak dibetulkan, akan menjadi betul sendiri dalam periode berikutnya (counter balance).
2.       Kesalahan-kesalahan yang mempengaruhi neraca dan laporan rugi laba tetapi tidak menjadi benar dengan sendirinya pada periode berikutnya.
JURNAL KOREKSI
Bila mengikuti prinsip yang sekarang berlaku, maka koreksi atas kesalahan dicatat ke rekening laba tidak dibagi dan dilaporkan dalam laporan laba tidak dibagi. Seperti pada :
1.       Kesalahan dalam persediaan barang
2.       Kesalahan dalam pembelian dan persediaan barang
3.       Kesalahan mencatat pembelian
4.       Kesalahan mencatat penjualan barang
5.       Kesalahan mencatat biaya dibayar dimuka
6.       Kesalahan mencatat utang biaya
7.       Kesalahan mencatat piutang pendapatan
8.       Kesalahan mencatat pendapatan diterima dimuka
9.       Kesalahan dalam kapitalisasi biaya
10.   Kesalahan dalam taksiran umur
11.   Kesalahan dalam perhitungan kerugian piutang
Nama : Adisti Pamula siwi
NPM : 20210173
Kelas : 3 EB 20

Tulisan tentang ekonomi 19"Ketentuan pajak"


KETENTUAN-KETENTUAN PAJAK
ketentuan-ketentuan pajak diantaranya,yaitu :
1. Subyek pajak
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
a. Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia
b. Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.
c. Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
d. Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah.

2. Bukan subyek pajak

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 200 menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk obyek pajak sebagai berikut:
a. Badan perwakilan negara asing.
b. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
c. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia.
 d. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.

3. Obyek pajak

     Objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak darimanapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut.
     Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
     Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.
Nama : Adisti Pamula Siwi
NPM : 20210173
Kelas : 3 EB 20





Tulisan tentang ekonomi 18 "Pajak penghasilan di indonesia"


PAJAK PENGHASILAN DI INDONESIA
     Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.
     Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu. Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General income tax yakni Ordonansi pajak pendapatan yang diperbaharui pada tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi pajak pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber.
Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonasi pajak perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan cuti pajak (tax holiday).
     Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya reformasi pajak, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.
     Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. saja.
     Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya reformasi pajak di Indonesia.
Nama : Adisti Pamula Siwi
NPM : 20210173
Kelas : 3 EB 20