Pemahaman
Mendasar Bisnis & Industri Musik
Sebelum ada industri musik awalnya terjadi bisnis
musik. Bisnis musik itu elemen mendasarnya antara lain terdiri dari rasa,
ekspresi dan batas yang kemudian dirancang sedemikian rupa hingga memiliki
nilai ekonomi. Saya pernah punya presentasi tentang musik yang mulai di dengar
satu hingga sepuluh orang karena musik memiliki batas loudness dan decibel yang
kemudian dibantu teknologi. Teknologi amplify membantu mengeraskan suara,
teknologi rekaman mampu merekam suara, teknologi transmiting memancarkan suara.
Namun tetap saja sumber ekspresinya satu, artisnya. Kemudian musik di dengar
dan diapresiasi orang banyak dan ternyata mendatangkan keuntungan-keuntungan
ekonomi bagi penyelenggaranya. Otomatis pembuat musiknya harus mendapat bagian
juga. Itulah asal muasalnya hak cipta.
Performing rights muncul ketika artis bernyanyi di
depan orang banyak dan orang itu senang dan terhibur tapi ketika di dengar dua
ribu orang dan butuh gedung lalu terjadi penjualan tiket. Berarti ada uang
masuk dan harus dibagi dengan artis sebagai penyedia content musiknya.
Disitulah mulai terjadi pembagian royalti. Sama halnya dengan teknologi radio.
Bayangkan kalau sinyal radio hanya kosong saja tanpa ada content musiknya maka
radio itu tak akan di dengar orang.
Ketika ada content musik dan orang mulai mendengar
kemudian disisipkanlah iklan. Iklan menghasilkan uang akhirnya radio yang
menggunakan musik harus membagi keuntungan yang di dapat dari iklan dengan
membayar royalti performing rights bagi artis-artis dan para pencipta lagunya.
Berikutnya musik juga dapat direkam dan digandakan, terciptalah kemudian
mechanical rights. Kalau sudah memahami filosofi tersebut akah mudah mengikuti
perkembangan industrinya. Ketika jaman berubah dan musik tidak lagi direkam
melalui studio atau diekspresikan di sebuah gedung, muncullah musik di internet
atau di ponsel.
Industri selalu berubah terus karena perkembangan
jaman sekaligus ada teknologi, norma baru, trend baru, semuanya mempengaruhi.
Bahkan hukum pun mengikuti itu. Sebelum disebut industri musik awalnya bisnis
musik dulu. Pemisahannya baru makin jelas ketika industri masuk ke dalam
kehidupan manusia sehari-hari, termasuk ketika musisi bermain musik. Kemudian
dipilah. Mulai dari industri peralatan musik walau pun belum memiliki teknologi
yang canggih. Misalnya biola, gitar, itu nggak bisa lepas dari industri karena
meningkatnya permintaan untuk memainkan alat-alat musik seperti itu. Sedangkan yang dinamakan industri musik yang
kreatif akhirnya mendapat perlindungan Hak Kekayaan Intelektual [HKI] hingga
manajerial artis tidak stabil seperti industri peralatan musik karena
goncangannya banyak. Misalnya terjadi perbedaan kiblat, ingin mengikuti standar
Eropa atau Amerika. Pada satu waktu Eropa berkiblat ke Amerika namun terkadang
Amerika juga berkiblat ke Eropa. Belakangan muncul poros industri musik baru di
Asia yaitu Jepang dengan musik-musik Jepang yang separuh industri dan separuh
non-industrial.
Muncul lagi industri dari benua baru yaitu Australia
yang mirip Eropa tapi prilakunya terpengaruh Amerika membuat industri berubah.
Gabungan semuanya membuat industri berubah. Manajemen berubah, pelaku berubah.
Sementara yang disebut sebagai industri musik di Indonesia selalu tanggung
terus. Ketika dijajah Belanda industrinya belum 100% berbicara tentang sistem
dan bisnis tapi hanya ditinggali ilmu bermain musik, selalu membahas
teknis-teknis bermusik. Contohnya W.R. Supratman. Dia sebenarnya nggak bisa
main musik, dia wartawan. Dia belajar main musik supaya Indonesia atau klubnya
memiliki lagu sendiri. Sementara industri saat itu mengharuskan musisinya
memiliki nama Belanda, itu ketentuan tidak tertulis. Akan mempercepat karir,
itu makanya ada Rudolf di dalam nama W.R. Supratman.
Industri kita baru memulai menata walau belum rapi
setelah Bob Geldof marah-marah karena Indonesia membajak dan mengekspor album
amal Live Aid atau setelah dimulainya era kaset. Waktu era piringan hitam kita
masih persis seperti Belanda. Ada Polygram, Polydor dan Philips. Di sini
merek-merek itu juga ada, tapi bukan licensed. Seolah-olah seperti license.
Lantas Bung Karno membangun Lokananta itu dulunya dibentuk persis seperti
Hilversum di Belanda.
Waktu itu ada hubungannya dengan RRI karena sebelum
menjadi kota industri media besar, Hilversum pertama kali adalah stasiun radio,
Radio Hilversum. Letaknya bukan di Amsterdam. Dari sana industri musik di
Indonesia mulai mengenal yang namanya royalti tapi persis konsep Belanda. Kalau
dulu konser di depan orang-orang Belanda musisi kita hanya dibayar dengan
pride. Gengsi karena ditonton orang Belanda. Itu terjadi juga di generasi
berikutnya, ada musisi gedongan dan musisi pinggiran. Hampir sama di seluruh
kota.
Di Surabaya dulu hampir semua musisi terkonsentrasi
di RRI. Radio merupakan satu-satunya alat ekspresi yang massal dulu. Yang lain
bermain di klub, terjadi pembayaran tapi tidak seperti musisi Belanda yang
tampil di klub di Belanda sana. Feodalisme akhirnya membuahkan regenerasi sikap
bermusik seperti itu. Sebelum dan nggak lama setelah Indonesia merdeka musik
kita menjadi musik propaganda, musik yang melawan, theres no industry di sana.
Industrinya diciptakan untuk kebutuhan berperang.
Setelah membaca tulisan-tulisan Remy Silado yang
meneliti hal itu. Muncul kota-kota yang melahirkan artis-artis musik pop
kontemporer seperti Jakarta, Bandung, Surabaya. Di Surabaya ada era W.R.
Supratman, Bubi Chen, Gombloh, Dewa19 hingga Padi. Scene musik yang terbentuk
di sana dianggap mewakili Indonesia Timur. Sementara musisi lain yang memainkan
musik Hawaiian dari Ambon nggak mau ke Jakarta tapi tujuan utamanya Surabaya.
Sampai generasi Franky Sahilatua dan musisi-musisi jazz juga tinggal di sana.
Kelompok orang Manado yang musikal juga muncul dari
Surabaya seperti Jopie Item yang lebih dulu dikenal di sana bukan di Jakarta.
Kalau melebar sedikit paling ke Malang yang pengaruh Eropa-nya terasa sekali,
mirip seperti Bandung. Sementara itu bertumbuh terus Jakarta mulai terpengaruh
Amerika Serikat tahun 1960an-1970an.
Saat itu di Indonesia grup-grup seperti Koes Plus, Bimbo, DLloyd dibayar
dengan mobil atau rumah sebagai bonus dari produser sewaktu mereka masuk ke
industri rekaman. Di luar negeri nggak ada praktik seperti itu. Kompensasinya
selalu terukur. Misalnya album laku sekian dan menguntungkan perusahaan sekian
akan diberikan royalti. Terserah artisnya nanti ingin dibelanjakan apa uang
royaltinya. Singapura juga seperti itu. Hingga ada beberapa artis kita yang
berangkat ke Singapura sempat terkaget-kaget dengan norma bisnis yang berlaku
di sana.
Musisi-musisi yang pernah rekaman di Singapura
seperti Rollies dan Bimbo akhirnya memiliki mindset yang berbeda. Mereka sempat
merasakan hasil dari bermusik yang terukur sementara di Indonesia tidak seperti
itu. Akhirnya dulu sangat sulit membuat lagu yang menghasilkan duit di sini.
Mindset itu nggak ada, bahkan orangtua malah melarang anak-anaknya menjadi
pemusik. Mindset peninggalan kolonial Belanda ini terus diwariskan ke
generasi-generasi berikutnya. Sementara perkembangan teknologi informasi cepat
sekali, ini menerobos ke bagian-bagian yang sudah berjarak dengan generasi
dulu.
Perbedaan luar negeri dengan Indonesia setiap
terjadi perubahan format rekaman di sana ada prosesnya, dari piringan hitam ke
kaset ada prosesnya. Kepala orang diubah dulu. Prilaku distribusi, cara beli,
pola konsumsi, dan sebagainya. Kalau di kita nggak, tiba-tiba saja berubah.
Pelaku-pelaku besar bisnis piringan hitam yang tadi jumlahnya nggak banyak
sekarang punya anak-anak yang bermain di bisnis kaset yang sebenarnya belum
siap untuk mendistribusikan. Kelompok inilah yang belakangan menguasai industri
musik kita sampai hari ini.
Industri kita justru salah mengartikan hak cipta
karena konsep hak cipta memang berakar dari masyarakat industri. Kalau
masyarakat kita masih canggung, ditengah-tengah. Setengah agraris, setengah
maritim dan belum berpikir secara industri. Sehingga ukuran-ukuran yang dipakai
dalam industrinya nggak bisa matched. Hak cipta adalah turunan dari revolusi
industri. Generasi pertama dari hak cipta adalah lagu, sebelum akhirnya lagu
dan musik sekarang dikenal sebagai content. Perlindungan terhadap para pencipta
lagu sangat besar di Undang Undang Hak Cipta tapi pada praktiknya di Indonesia
terbalik, pencipta lagu seperti tidak punya hak. Ini berlawanan sekali dengan
UU Hak Cipta tentunya. Di seluruh dunia
tak ada pencipta lagu yang datang ke rumah produsernya kecuali untuk hubungan
pribadi, itu berbeda. Ada mediator bernama publisher yang bertugas sebagai
manajer lagu. Di Indonesia publisher muncul belakangan setelah industrinya
berjalan dan anehnya standar yang dipakai tidak sama dengan luar negeri.
Akhirnya setelah punya hanya sekadar ada saja, tidak menjalankan fungsi sebagai
publisher. Malah kadang menjadi kepanjangan tangan dari kepentingan produsen
musik atau label rekamannya.
Di Indonesia kebanyakan label memiliki publishing.
Akhirnya makin kisruh. Seharusnya publisher adalah institusi yang melindungi
lagu dan pencipta lagu supaya mereka nggak kering kreatifitas, mendapat
pemasukan, dipasarkan dan dilindungi secara hukum. Itu tidak terjadi di sini, tetap
saja publisher yang ada pasif, hanya menunggu. Jika lagunya sudah jadi dan
orangnya datang baru ditawarkan bergabung ke publisher. Bukan menjemput bola
dan membawa ke label rekaman. Itu salah satu contoh perangkat industri kita
yang tidak memiliki standar sama dengan dunia luar.
Industri yang makin amburadul seperti ini harus
dipahami anak-anak baru yang akan terjun ke industri dengan tujuan bukan
membuat mereka takut, jangan dikasih gambaran menakutkan. Pada prinsipnya musik
memiliki kekuatan, it has power. Sekali kamu terjun ke industri jadilah musisi
yang memahami seluk beluk industrinya, nggak salah kok, nggak haram. Jangan
setengah-setengah. Ingin terjun ke industri tapi marah-marah atau sebaliknya.
Lebih baik masuk ke industri musik sembari melihat apa yang terjadi di
sekelilingnya. Tidak semuanya kacau.
Referensi :
Nama : Adisti Pamula Siwi
Kelas : 3 eb 20
NPM : 20210173